Bambu
telah lama dikenal sebagai salah satu material konstruksi bangunan, terutama di
Indonesia. Namun citra bambu dahulu dikenal sebagai material murah yang cepat
rusak. Bahkan Badan Pusat Statistik membuat salah satu kriteria masyarakat
miskin adalah jenis lantai/dinding tempat tinggal terbuat dari bambu2. Hal ini
yang menyebabkan bambu dianggap material bangunan kelas 3 dan non-permanen.
Beberapa
bangunan dengan struktur bambu masih terbilang jarang di Indonesia. Itu saja
dikarenakan arsiteknya memang menginginkannya. Ketidak-populeran struktur kayu,
ternyata tidak hanya terjadi di dunia praktisi (proyek lapangan). Kalaupun ada,
maka umumnya struktur bambu tersebut hanya dijumpai pada pembuatan bangunan
non-permanen atau menjadi material konstruksi yang masih bersifat sekunder
seperti perancah, reng, atap, dinding.
Kenyataan ini lebih disebabkan minimnya pengetahuan masyarakat kita mengenai
sifat-sifat mekanik dan fisik struktur bambu.
Padahal
di luar sana, di Kanada, Swedia, Jepang, Cina, dan Amerika Selatan, konstruksi bambu
dan kayu berkembang pesat menuju era yang belum pernah ada di negeri ini. Kita
ini sangat tertinggal. Jadi kalau melihat negeri ini, yang struktur bambu
kembang kempis, banyak berkembang pada taraf finishing untuk memenuhi kebutuhan
arsitek saja. Padahal bambu memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan
material lain. Seperti yang tercantum pada tabel perbandingan kuat mekanik
beberapa bahan material konstruksi, diambil dari makalah Pak Wiryanto Dewobroto
dari Gran Melia.
jika
diperhatikan rasio kuat dibanding berat volumenya paling tidak efisien adalah
beton, sedangkan kayu mempunyai efisiensi lebih tinggi dibanding baja. Itu
menunjukkan pada berat yang sama maka kayu mempunyai kekuatan yang lebih baik.
Kayu hanya bisa dikalahkan oleh material bambu. Ini jelas suatu potensi yang
tidak dapat diabaikan jika digunakan bambu sebagai material konstruksi. Adapun
kelemahan bambu yang relatif kecil dibanding pohon kayu, dapat diatasi dengan
dibuatnya laminasi (penggabungan dan penyambungan) balok bambu.
Seiring
berkembangnya pengetahuan akan struktur dan material, teknologi seputar bambu juga
ikut berkembang seperti munculnya pengetahuan akan joint-joint yang dapat menambah kekuatan bambu. Teknologi
pengawetannya pun ikut berkembang, sehingga bambu dapat dijadikan material
konstruksi yang lebih kuat dan permanen. Selain itu, Bambu memiliki nilai ekologis
yang menjadi nilai tambah. Bambu merupakan material konstruksi yang berkelanjutan,
produksi bambu akan mengonsumsi CO2. Jika dibandingkan dengan kayu,
menanam bambu hanya membutuhkan waktu 3-6 tahun untuk dapat digunakan sebagai
material konstruksi.
Karakteristiknya
yang ringan namun berkekuatan tinggi, menjadikan bambu material struktur yang
potensial bagi bangunan bentang lebar. Bambu juga memiliki karakter fleksibel
(mudah dibentuk) sehingga berpotensi untuk bentuk-bentuk lengkung, dimana
bentuk tersebut cukup sulit diwujudkan dengan material konstruksi lain. Hal ini
banyak dibuktikan oleh penelitian tentang kekuatan bambu sebagai bahan
konstruksi yang telah dilakukan oleh beberapa orang.
Misalnya
pada penelitian yang dilakukan oleh Janssen terkait sifat mekanik bambu pada
tahun 1974, khususnya yang berkaitan dengan sambungan kuda-kuda untuk keperluan
gedung sekolah dan bengkel. Penelitian
ini dilakukan untuk memenuhi permintaan
bantuan suatu Negara berkembang.
Sebagai acuan awal untuk penelitian ini adalah berkas-berkas yang dibuat
oleh kerajaan tentara Belanda tahun 1880-an. Berbagai pengujian telah dilakukan
oleh Janssen di Laboratorium untuk mengetahui kekuatan bambu terhadap tarik,
tekan, lentur dan geser dengan pembebanan jangka panjang dan jangka
pendek. Dalam penelitian ini dipakai
bambu dengan spesies Bambusa blumeana berumur 3 tahun. Dilaporkan
dalam hasil penelitian bahwa kekuatan lentur rata-rata adalah sebesar 84 Mpa,
modulus elastisitas sebesar 20.000 Mpa. Kekuatan geser rata-rata cukup rendah
yaitu 2,25 Mpa pada pembebanan jangka pendek dan 1 Mpa pada pembebanan jangka
panjang (6 – 12 bulan). Dalam laporan
juga dinyatakan bahwa kekuatan tarik sejajar serat cukup tinggi, yaitu 200 –
300 Mpa. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kekuatan bambu sangat
dipengaruhi oleh kelembaban bahan.
Atau penelitian oleh Morisco (1994-1999) yang membandingkan
kuat tarik bambu Ori dan Petung dengan baja struktur bertegangan leleh 2400
kg/cm2 mewakili baja beton yang banyak terdapat dipasaran, dilaporkan kuat
tarik bambu Petung mencapai 3100 kg/cm2.
Selain itu, pada saat ini penggunaan beton
bertulang dalam pembangunan perumahan akan semakin meningkat. Kenaikan
kebutuhan tulangan baja akan memicu kenaikan harga sehingga menjadi mahal dan
langka. Persediaan bahan dasar pembuatan baja (bijih besi) juga semakin
terbatas dan tidak mungkin diupayakan peningkatan produksinya karena termasuk
sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Bambu dapat dipilih sebagai
alternatif pengganti karena merupakan hasil alam yang murah, mudah ditanam,
pertumbuhan cepat, dapat mereduksi efek global warming serta memiliki kuat
tarik sangat tinggi pada sisi kulit. Karena itu penting bagi kita, terutama
para praktisi dan akademisi di bidang arsitektur untuk saling belajar
sifat-sifat mekanik dan pengolahan struktur terutama bambu.