Misalnya, dalam perhitungan kasar, jika luas rumah adalah 100 meter persegi, dengan pemakaian lahan untuk bangunan adalah 60 meter persegi, maka sisa 40 meter persegi lahan hijau, Jadi komposisinya adalah 60:40. Selain itu membuat atap dan dinding menjadi konsep roof garden dan green wall. Dinding bukan sekadar beton atau batu alam, melainkan dapat ditumbuhi tanaman merambat. Selain itu, tujuan pokok arsitektur hijau adalah menciptakan eco desain, arsitektur ramah lingkungan, arsitektur alami, dan pembangunan berkelanjutan.
Selain itu, arsitektur hijau diterapkan dengan meningkatkan efisiensi 
pemakaian energi, air dan pemakaian bahan-bahan yang mereduksi dampak 
bangunan terhadap kesehatan. Arsitektur hijau juga dapat direncanakan 
melalui tata letak, konstruksi, operasi dan pemeliharaan bangunan.
PENGELOLAAN AIR
Dalam perencanaan sebuah bangunan, seorang arsitek selalu dihadapkan 
pada masalah pengolahan air. Air hujan adalah salah satu yang perlu 
manajemen yang baik supaya tidak mengganggu kenyamanan hidup kita. Air 
hujan jamaknya dialirkan melalui saluran-saluran (vertikal maupun 
horizontal) yang ada di dalam lahan sebelum diteruskan ke sistem 
drainase kota. Pengaliran dengan mengandalkan sistem drainae kota ini 
terbukti sudah tidak efektif dalam mengelola air hujan.
Banjir besar di Jakarta tahun 2002 dan 2007 adalah bukti betapa lemahnya
 sistem drainase kota menghadapi air hujan. Terlepas dari tingginya 
curah hujan, sistem drainae kebanyakan kota di Indonesia memang sudah 
tidak memadai karena semrawutnya tata ruang. Selain itu, kebiasaan hidup
 masyarakat membuang sampah ke sungai dan tinggal di bantaran kali juga 
menyebabkan kurang berartinya sistem drainase dalam menghadapi limpahan 
air hujan.

Salah satu alternatif pengolahan air hujan adalah menggunakan lubang 
resapan biopori ditemukan oleh Ir. Kamir R. Brata, Msc, seorang Peneliti
 Institut Pertanian Bogor (IPB). Resapan biopori meningkatkan daya 
resapan air hujan dengan memanfaatkan peran aktifitas fauna tanah dan 
akar tanaman.Lubang resapan biopori adalah lubang silindris berdiameter 
10-30 cm yang dibuat secara vertikal ke dalam tanah dengan kedalaman 
sekitar 100 cm. Dalam kasus tanah dengan permukaan air tanah dangkal, 
lubang biopori dibuat tidak sampai melebihi kedalaman muka air tanah. 
Lubang kemudian diisi dengan sampah organik untuk memicu terbentuknya 
biopori.

Biopori adalah pori-pori berbentuk lubang (terowongan kecil) yang dibuat
 oleh aktifitas fauna tanah atau akar tanaman. Kehadiran 
terowongan/lubang-lubang biopori kecil tersebut secara langsung akan 
menambah bidang resapan air. Sebagai contoh, bila lubang dibuat dengan 
diameter 10 cm dan dengan kedalaman 100 cm, maka luas bidang resapan 
akan bertambah sebanyak 3140 cm² atau hampir 1/3 m².
Sementara, suatu permukaan tanah berbentuk lingkaran dengan diamater 10 
cm, yang semula mempunyai bidang resapan 78.5 cm² setelah dibuat lubang 
resapan biopori dengan kedalaman 100 cm, luas bidang resapannya menjadi 
3.218 cm². Lubang biopori disebar dalam jarak tertentu sesuai dengan 
luas lahan yang hendak dicover. Selain itu, biopori juga bisa diterapkan
 diselokan yang seluruhnya tertutup semen. Dibutuhkan dua sampai tiga 
kilogram sampah lapuk untuk sebuah lubang biopori.
Agar orang yang menginjaknya tidak terperosok, lubang ditutup dengan 
kawat jaring. Selain memperbesar bidang resapan melalui aktivitas 
organisme tanah, lubang resapan biopori juga memiliki dapat mengubah 
sampah organik menjadi kompos. Lubang resapan biopori "diaktifkan" 
dengan memberikan sampah organik didalamnya.
Sampah inilah yang akan menjadi sumber energi bagi organisme tanah untuk
 melakukan kegiatan melalui proses dekomposisi. Sampah yang telah 
didekompoisi ini dikenal sebagai kompos. Melalui proses seperti itu maka
 lubang resapan biopori akan berfungsi sekaligus sebagai "pabrik" 
pembuat kompos. Kompos dapat dipanen pada setiap periode tertentu dan 
dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik pada berbagai jenis tanaman. 
Sampai saat ini belum ditemukan apa yang menjadi kelemahan lubang 
biopori. Sampah organik yang ada pada lubang biopori dirasa tidak akan 
mengganggu karena cepat diuraikan.
Sampah akan sulit diuraikan jika lubang resapan terlalu besar dan tidak 
disebar. Karena itu sampah harus disebarkan, jangan hanya berada disatu 
tempat. Hasilnya itu juga bisa dijadikan kompos. Memakai lubang resapan 
biopori adalah tampaknya merupakan langkah yang bijak dalam merencanakan
 sebuah lingkungan binaan. Arsitek sebagai perencana seyogyanya tidak 
hanya memikirkan kepentingan bangunan yang dirancangannya, tetapi juga 
memikirkan bagaimana rancangannya itu dapat mandiri dan tidak menambah 
beban sistem drainase kota.

ECO ROOF
Di kawasan kota yang telanjur padat, memperoleh lahan terbuka bukanlah 
soal mudah. DKI Jakarta dengan lahan seluas 66.126 hektar dan ruang 
hijau 9 persen atau 5.951 hektar, perlu membebaskan sekitar 13.000 
hektar lahan bila ingin memenuhi patokan lazim 30 persen lahan terbuka 
hijau. Jepang juga menghadapi persoalan sama. Sejak abad ke-17, sifat 
land hungry (lapar lahan) dalam praktik mengonsumsi lahan perkotaan 
telah menyebabkan tampilan kota di Jepang tak jauh berbeda dari kota 
besar Asia lainnya.
Karena lahan perkotaan telah telanjur disesaki bangunan, maka sasaran 
perolehan sel-sel hijau daun beralih pada hamparan atap datar 
gedung-gedung yang justru lebih banyak dibanjiri cahaya matahari. 
Sebenarnya gerakan atap hijau telah muncul di Jepang sejak awal abad 
ke-20 melalui konsep eco-roof, tetapi sifat pengembangannya masih 
ekstensif.

Atap hijau jenis ini ditandai struktur atap beton konvensional dengan 
biaya dan perawatan taman relatif murah karena penghijauan atap hanya 
mengandalkan tanaman perdu dengan lapisan tanah tipis. Ketika Jepang 
semakin ketat menjaga lingkungan melalui pemberlakuan berbagai tolok 
ukur bangunan ramah lingkungan, para perancang mulai berpacu mencari 
solusi cerdas dalam memanfaatkan bidang datar atap bangunan.
Salah satunya adalah intensifikasi taman atap, atau upaya memadukan 
sistem bangunan dengan sistem penghijauan atap sehingga dapat diciptakan
 taman melayang (sky garden). Berbeda dengan atap hijau ekstensif yang 
hanya menghasilkan taman pasif, atap hijau intensif dapat berperan 
sebagai taman aktif sebagaimana taman di darat.
Dengan lapisan tanah mencapai kedalaman hingga dua meter, atap hijau 
intensif mensyaratkan struktur bangunan khusus dan perawatan tanaman 
cukup rumit. Jenis tanaman tidak hanya sebatas tanaman perdu, tetapi 
juga pohon besar sehingga mampu menghadirkan satu kesatuan ekosistem. 
Walaupun investasi yang dibutuhkan untuk membuat atap hijau cukup 
tinggi, bukan berarti upaya peduli lingkungan ini bertentangan dengan 
semangat mengejar keuntungan ekonomi, terbukti kini banyak fasilitas 
komersial yang menerapkan konsep atap hijau intensif. Salah satu di 
antaranya adalah Namba Park, sebuah mal gaya hidup di pusat kota Osaka.
Manfaat atap hijau bukan hanya sebatas peningkatan nilai estetika dan 
penghematan energi, pengurangan gas rumah kaca, peningkatan kesehatan, 
pemanfaatan air hujan, serta penurunan insulasi panas, suara dan 
getaran, tetapi juga penyediaan wahana titik temu arsitektur dengan 
jaringan biotop lokal. Perannya sebagai "batu loncatan" menjembatani 
bangunan dengan habitat alam yang lebih luas seperti taman kota atau 
area hijau kota lainnya.

ARSITEKTUR HIJAU DIRUMAH KITA
Desain rumah yang green architecture bisa diterapkan dirumah kita. 
Sebagai sebuah kesatuan antara arsitektur bangunan rumah dan taman tentu
 harus selaras. Untuk mendekatkan diri dengan alam, fungsi ruang dalam 
rumah ditarik keluar. Ruang tamu di taman teras depan, ruang makan dan 
ruang keluarga ditarik ke taman belakang atau ke taman samping, atau 
kamar mandi semi terbuka di taman samping. Sebaliknya, fungsi ruang 
keluar menerus ke dalam ruang. Ruang tamu atau ruang keluarga hingga 
dapur menyatu secara fisik dan visual. Rumah dan taman mensyaratkan 
hemat bahan efisien, praktis, ringan, tapi kokoh dan berteknologi 
tinggi, tanpa mengurangi kualitas bangunan.
Arsitektur hijau mensyaratkan dekorasi dan perabotan tidak perlu 
berlebihan, saniter lebih baik, dapur bersih, desain hemat energi, 
kemudahan air bersih, luas dan jumlah ruang sesuai kebutuhan, bahan 
bangunan berkualitas dan konstruksi lebih kuat, serta saluran air 
bersih. Keterbukaan ruang-ruang dalam rumah yang mengalir dinamis. 
Ketinggian lantai yang cenderung rata sejajar, distribusi void-void, 
pintu dan jendela tinggi lebar dari plafon hingga lantai dilengkapi 
jalusi (krepyak), dinding transparan (kaca, glassblock, fiberglass, 
kerawang, batang pohon), atap hijau (rumput) disertai skylight.
Penempatan jendela, pintu, dan skylight bertujuan memasukkan cahaya dan 
udara secara tepat, bersilangan, dan optimal pada seluruh ruangan. 
Keberadaan tanaman hidup di ruang dalam atau di taman (void) berguna 
menjaga kestabilan suhu udara di dalam tetap segar dan sejuk. Pintu dan 
jendela kaca selebar mungkin dan memakai tembok dan kusen seminim 
mungkin menjadikan ruang terasa lega. Pintu dan jendela bisa dibuka 
selebar-lebarnya. Lantai teras dan ruang dalam dibuat dari material sama
 dan menerus rata (tidak ada beda ketinggian lantai) membuat kesatuan 
ruang terasa luas dan menyatu dengan ruang luar di depannya.
Optimalisasi void menciptakan sirkulasi pengudaraan dan pencahayaan 
alami yang sangat membantu dalam penghematan energi. Desain void yang 
tepat dapat mengurangi ketergantungan penerangan lampu listrik terutama 
di pagi hingga sore hari dan pemakaian kipas angin atau pengondisi udara
 yang berlebihan. Void dalam bentuk taman (kering) dapat berfungsi 
sebagai sumur resapan air. Persenyawaan bangunan dan taman dalam konsep 
arsitektur hijau memiliki banyak keuntungan bagi rumah itu sendiri, 
lingkungan sekitar, dan skala kota secara keseluruhan. Rumah sehat 
memiliki sistem terbuka. Maka, setiap rumah yang dibangun berdasarkan 
konsep arsitektur hijau dapat mengurangi krisis energi listrik dan BBM 
serta krisis kualitas lingkungan. 
Sumber:
http://www.rudydewanto.com/2011/01/arsitektur-hijau.html
 
No comments:
Post a Comment